ilustrasi : Bersiap menjadi orang besar |
Seperti sudah Biasa, ribuan pengangguran baru diproduksi oleh Sekolah, Akademi, dan Universitas. Orang-orang terdidik ini sadar atau tidak adalah produk pendidikan formal bangsa ini.
Mereka bagian dari sistem produksi Lembaga Pendidikan dalam suatu Negara. Negara memang hadir, tetapi lebih banyak absensinya. Diakui, Negara menaungi kebijakan pendidikan. Tetapi Negara juga tidak bisa menjamin "saluran" membludaknya produk hasil pendidikan itu.
Bisa dihitung berapa jumlah pengangguran kita. Dan setiap tahun bertambah terus seiring jumlah kelulusan. Solusi sudah banyak ditawarkan. Diantaranya mengundang investor. Membuka kran perdagangan bebas. Serta menambah anggaran kredit usaha rakyat.
Namun apa yang terjadi? Sudahkah itu semua menjadi solusi? (Anda pun yakin jika) itu belum.
Konteks hari ini, ribuan lulusan itu berebut tempat yang sama. Yaitu pekerjaan atau profesi yang sudah dicetak oleh lembaga Pendidikan. Mereka memperebutkan kue yang sangat sedikit. Sedikit sekali bahkan jika dibandingkan posisi pekerjaan yang tersedia.
Saya berkesempatan menguji hal itu. Tepatnya ditahun 2008, sekitar bulan April (sekira 8 tahun yang lalu). Dengan asumsi besarnya tenaga terdidik, utamanya lulusan Perguruan Tinggi bertitel S.Pd. Saya memberanikan diri mendirikan Lembaga Spesialis Privat bernama "Chubby Education Indonesia". Sebuah lembaga bimbingan belajar khusus privat yang masih beroperasi hingga kini.
Waktu itu, senyampang riset saya, di Jember masih belum ada Lembaga serupa. Begitu berdiri, saya pasang iklan lowongan kerja di Kantor Pos. Uji coba pasang 1 minggu. Apa yang terjadi? Diluar dugaan jumlah pelamar yang masuk mencapai 67 orang.
Padahal sebagai Lembaga Baru, Chubby Education belum memiliki murid sama sekali.
Bagaimana bisa 67 orang itu tertarik mengirim lamaran kerja pada usaha yang belum tentu bisa menggaji mereka?, Pertanyaan ini terjawab dengan hipotesis pada paragraf-paragraf di atas.
Faktor paling mungkin adalah besarnya pencari kerja, tidak berbanding lurus dengan jumlah usaha/saluran yang tersedia.
Apakah ini tanggung jawab Negara?, Atau malah ini tanggung jawab Lembaga Pendidikan yang meluluskan mereka. Saya cenderung menyalahkan individu. Mereka tidak cerdas membaca lowongan.
Mereka tidak Berusaha mencari kejelasan lembaga itu. Dan paling membuat saya heran, mereka hanya coba-coba, "diterima oke, ga diterima yaudah". Atau meskipun diterima gajinya berapa, kerjanya gimana, kalo tidak puas tinggalkan saja.
Mereka adalah kumpulan 'individu' yang terjebak oleh ketergantungan kepada lowongan kerja (loker). Padahal kerja bukan sekedar menjalankan hasil pendidikan. Karena lulus bertitel SE, S.Pd, Dr, DR, M.Si lantas melamar di bidang yang sudah ditulis didepan atau belakang nama itu.
Mulailah merubah konsep berpikir. Dimulai dari kesadaran kepada kemampuan diri sendiri. Kesadaran kepada potensi diri. Kesadaran kepada nilai-nilai kepantasan.
Mulailah dengan berpikir logis. Mulailah 'berpikir besar'. Bangunlah, karena mimpi anda sedang dikondisikan. Oleh suatu sistem pembodohan.
Bila menilik sejarah. "Orang besar" itu bukan mereka yang memiliki harta melimpah dan kikir. Orang besar juga bukan pahlawan yang belum pernah turun ke medan tempur. Dan pemimpin itu, bukanlah kepala negara yang sewenang-wenang.
Orang tidak menilai jabatan atau kekayaan mereka. Akan tetapi, "Apa yang sudah mereka berikan kepada dunia."
Orang besar adalah mereka yang belajar dan mengikuti 'seleksi alam'. Orang-orang yang tidak (hanya) memiliki ijazah sekolah formal. Namun mempunyai sumbangan nyata bagi dunia.
Jumlahnya memang tidak banyak. Tetapi jutaan orang bergantung kepada hasil pemikiran dan karyanya. Abadi, meskipun orangnya sudah lama mati.
Sudah siapkah saya, anda, dia, orang itu, orang yang berbaju merah, si guru itu, si dokter, sang profesor menjadi orang (berkarya) besar?, Yang mampu menjawab adalah diri sendiri.
Maka beranikan bertanya pada diri sendiri, "Sudah siapkah saya menjadi orang besar?." (*)
Ditulis oleh :
Kalbar Zulkarnain
Redaktur Majalah Istismar
Pelaku dan pemerhati ekonomi kreatif
editor Fahrudin R.