Ustadz Kusno (dua dari kiri) berfoto bersama Bupati dr. Faida, Tim penggerak PKK Jember, Perwakilan PWM Jatim dr. Sukadiono, Rektor Unmuh Jember M Hazmi dan jajaran TNI Polri |
"Waktu itu alasannya sama, tidak punya uang untuk daftar ulang," ucap Kusno, mengawali kisah perjalanan hidupnya. Hal ini sempat membuat pria kelahiran Lamongan 2 Juli 1972 ini down karena hampir semua rekan-rekannya sudah mendapatkan kepastian akan melanjutkan sekolah di mana.
Bahkan, Kusno muda sempat putus asa dan mencari ikan di Sungai Bengawan Solo. Setelah hampir sebulan tanpa kepastian hingga datang guru MTs-nya kerumahnya. Sang guru ternyata mengabarkan jika dirinya diterima sekolah gratis di MAN program Khusus di Jember. "Itu tesnya di Kanwil Depag Surabaya empat bulan sebelumnya," ucapnya.
Akhirnya, dirinya berangkat ke Jember dan bersekolah di Jember. Saat itu dirinya tidak ada rasa takut untuk datang ke Jember, meskipun tidak tahu dimana Jember. Namun, keinginan yang kuat untuk sekolah membuatnya sampai di Jember.
Namun, saat pertama bersekolah dirinya sempat mendapatkan masalah. "bukan takut, tapi tidak kerasan karena harus di asrama," ucapnya. Namun, lama kelamaan dirinya pun mulai menempuh pendidikan tersebut.
Saat sekolah inilah asah berdakwahnya sudah mulai kelihatan. Dirinya bersama dengan sang rekan Misnali, kini menjadi pegawai Pemkab Jember, sempat membuat kelompok Oriska yakni Organisasi Remaja Islam Kaliwates. Kelompok yang didukung oleh KH Sofyan Tsauri ini menjadi tandingan untuk menanggulangi maraknya aksi carok dan tawuran remaja antar geng dan kelompok pemuda. "Dulu di Jember ini tahun 1980an banyak geng-gengan. Hampir tiap malam minggu tawuran," kenangnya.
Dirinya pun membuat kelompok pengajian kecil yang ternyata disambut dengan baik oleh pemuda sekitar. Hingga akhirnya dirinya bisa lulus MAN PK. Usia sekolah dirinya sempat berkelana kesana kemari dan mulai masuk ke Muhammadiyah dengan berpindah-pindah kepengurusan cabang, mulai Tanggul, Cakru, Panti hingga akhirnya Patrang.
"Ikut orang. Kan tidak punya keluarga di Jember. Jadi saya anggap orang Islam saudara saya," ucapnya tersenyum. Namun, meski sudah lulus MAN PK, namun suami Fauziah Inwinarni belum puas. Dirinya pun melanjutkan kuliah S1 dengan mendapatkan beasiswa kuliah selama setahun di IAIN Sunan Ampel Jember. Tapi beasiswa itu hanya untuk satu tahun. Dirinya pun kemudian harus mencari cara bisa tetap kuliah.
Kusno sempat ikut Yayasan Kesehatan Umat milik Baharudin Rosyid sebagai tenaga binaan, tetapi tidak lama karena dianggap tidak bisa untuk membiayai kuliah. Akhirnya dirinya memilih menjadi guru privat bagi empat anak warga keturunan Tionghoa di Jalan Otista Mangli. "Lumayan, karena gajinya bisa dua kali lipat gaji," ucapnya. Saat itu, Kusno belajar tentang keberagaman. Kusno yang memberikan pengajaran semua mata pelajaran ini juga sempat mengajarkan pendidikan Katolik sesuai dengan pendidikan anak.
Hingga beerapa saat kemudian dirinya diangkat untuk kerja di Departemen Agama Jember. "Sempat berhenti kuliah dua tahun, bahkan menikah dulu," terang pria yang kini menjadi Kepala KUA Rambipuji ini. Dirinya bisa lulus bahkan mendapatkan predikat sebagai lulusan terbaik. Walaupun sudah bekerja dan sebagainya namun tidak membuat Kusno meninggalkan pendidikan dan dirinya kembali kuliah pasca sarjana lagi tahun 2010 dan mengambil Manajemen Pendidikan Islam karena mendapatkan beasiswa dari Kemenag. (ram/har)
*) Ditulis ulang dari kolom Inspirasi Radar Jember edisi 06-03-16