Boikot Metro TV - Aksi perlawanan publik atas 'biased' media |
Jika Metro TV saat ini sedang menghadapi badai perlawanan dengan tajuk Aksi Nyata Boikot Metro TV melalui Change.Org, maka hal itu bukanlah tanpa sebab. Ada asap, pasti ada api. Seiring dengan meningkatnya tingkat kecerdasan dan intelektualitas anak bangsa, maka ruang propaganda kaum pemodal imprealis kian sempit.
Bersyukur sebagai Indonesia yang ramah dengan penuh kelemah-lembutan menyambut segala bentuk infiltrasi budaya asing. Berbagai budaya 'negeri sebelah' telah terserap dan termodifikasi sedemikian rupa seakan menjadi budaya asli nenek moyang dengan adat ketimuran. Hal ini tidak terlepas dari peran 'propaganda' media.
Media-media yang bermental sebagai 'komprador' asing menjadikan bangsa ini menjauh dari kesejatian budayanya sendiri. Bayangkan, perempuan gemulai dengan rok diatas lutut yang pada beberapa dekade lalu masih dianggap tabu di negeri ini, dapat diterima sebagai sesuatu kewajaran disaat menjadi pemandu diskusi ataupun 'anchor' di layar kaca.
Hal itu sekedar contoh. Bukankah cara seseorang berpakaian merupakan salah satu nilai budaya yang kasat mata?. Kekecewaan ummat Islam sebagai salah satu tulang punggung NKRI terakumulasi dan kini mulai memuncak pasca beberapa kali pemberitaan seputar ABI (Aksi Bela Islam), termasuk tentang jumlah peserta aksi 212. Orang bilang, sabar ada batasnya!.
Ketika media massa hanya bersifat satu arah, publik sebagai konsumen hanya bisa 'pasrah' dijadikan sebagai objek propaganda. Betapapun muatan berita yang ditayangkan sangat 'biased' (berat sebelah) dan sangat merugikan publik sebagai kaum mayoritas. Publik merasa tersandera akan kebutuhan informasi terkini.
Namun itu dulu. Lain bulu, lain ilalang. Lain dulu, lain sekarang. Seiring perkembangan teknologi informasi dan kemudahan akses media sosial. Publik kini juga mampu berperan sebagai penyaji berita. Dari ummat untuk ummat.
Sehingga, teori Big Lie yang digunakan Joseph Goebbels kini menjadi usang dengan sendirinya. Upaya kebohongan berulang tak lagi efektif menjadi sarana propaganda.
Pernyataan, "... people will believe a big lie sooner than a little one; and if you repeat it frequently enough people will sooner or later believe it" (dalam Nizkor), tak mampu lagi menjinakkan daya intelektualitas publik. Awam sekalipun, kini mulai membiasakan diri dengan 'recheck' sebelum menerima informasi sebagai sebuah kebenaran.
Sejatinya, bangsa apapun sangat tidak rela dengan perilaku 'sok'. Daripada sibuk membela diri, meminta maaf dan berjanji untuk memperbaiki perilaku merupakan tabiat bangsa modern dan masyarakat terpelajar. Itu, jika Metro TV masih berharap bisa eksis lebih lama lagi.
Kepada segenap 'stakeholder' Metro TV, cobalah saran 'sederhana' ini direnungkan kembali. Ummat kian cerdas, ingat itu!. ●
Fahrudin R. | Praktisi dan pemerhati media