Ilustrasi : Perang tanpa pedang |
Terlepas dari bagaimana seorang kader berproses di Tapak Suci, ada sebuah doktrin yang menjadi catatan penting dimana -disadari atau tidak- ternyata doktrin tersebut begitu mempengaruhi pola interaksi seorang kader dengan sesama kader Muhammadiyah, dengan warga masyarakat umumnya atau bahkan dengan pihak-pihak yang boleh dibilang sebagai lawan.
Tapak Suci mengajar siswanya agar menjadikan Iman dan Akhlak sebagai kekuatan utama. Dalam teori organisasi, Iman bisa kita jadikan sebagai 'basic assumption' sebagai landasan gerak dan Akhlak sebagai 'value' nilai-nilai strategis, yakni tentang bagaimana seharusnya seseorang atau sekelompok orang tersebut bergerak.
Melihat Muhammadiyah dari salah satu sudut pandang ortom, yang dalam hal ini adalah “Tapak Suci Putera Muhammadiyah” menjadi penting untuk dilakukan. Tujuannya adalah berusaha menakar kekuatan dan kelemahan Muhammadiyah itu sendiri sebagai Gerakan Pencerahan. Tidak melihat telur dari dalam telur.
Capaian dan daftar panjang keberhasilan Muhammadiyah melalui amal usahanya yang berupa universitas, sekolah, panti asuhan, masjid, baitul maal dan sebagainya memang cukup membanggakan. Akan tetapi hal tersebut bisa menjadi pisau bermata dua yang justru meninabobokan dan pada akhirnya mengaburkan orientasi dasar dalam berjuang.
Sebagaimana disebutkan dalam visi Muhammadiyah 2020 dalam Tanfidz Muktamar ke-47 yang lalu, yakni tentang pentingnya pengembangan langkah-langkah strategis Muhammadiyah yang bersifat membebaskan, memberdayakan dan memajukan ummat, bangsa serta kemanusiaan universal.
Langkah pembebasan, pemberdayaan dan memajukan tersebut kini mendapati berbagai tantangan nyata di lapangan. Dimana gelombang badai ancaman semacam ini tidak pernah dirasakan oleh bangsa Indonesia umumnya dan Muhammadiyah khususnya pada beberapa dekade yang lalu.
Kini, segala hal yang secara terang benderang sebagai kemungkaran sekalipun telah berani menunjukkan eksistensinya dengan membonceng berbagai produk kebijakan, menjelma dalam 'trending topic' media yang notabene dikuasai oleh musuh-musuh Islam. Serta, hegemoni kekuatan ekonomi tidak jarang dimainkan untuk menghadapkan rakyat pada satu pilihan antara logika atau 'logistik'.
Menghadapi 'perang' semacam ini, rasa-rasanya untuk sementara waktu tidak membutuhkan yang namanya pedang. Akan tetapi Muhammadiyah -tidak terkecuali di Jember- harus dapat memetakan kebutuhan mendesak untuk mendukung langkah-langkah strategis perjuangan tersebut. Setidaknya ada 3 hal, yakni Kebijakan publik, Kaum muda, Kemandirian ekonomi.
Kebijakan Publik. Perjuangan dalam ranah kebijakan telah massif digaungkan sejak kepempinan Prof. Din Syamsuddin. Jihad konstitusi telah menjadi icon perjuangan baru PP Muhammadiyah saat itu. Bagaimana dengan di daerah?, Semangat ini juga harus di respon positif oleh kepemimpinan Muhammadiyah di daerah dengan mulai secara pro-aktif mengawal segala produk hukum yang ada di daerah (perda dll.).
Kaum muda. Kepedulian dan keberpihakan pada kaum muda Muhammadiyah yang dalam hal ini bisa berarti anggota IMM, IPM, PM, Hizbul Wathan, NA maupun Siswa Tapak Suci merupakan sebuah hal mendesak untuk dilakukan. Karena pada fase usia inilah, (meminjam istilah Dr. Haedar Nashir) seringkali mengalami 'the lost of soul' atau kegelisahan batin.
Kemandirian Ekonomi. Sebagaimana komitmen Muhammadiyah ke-47 di Makassar lalu, Muhammadiyah seakan tersadar jika sektor ekonomi merupakan pilar yang harus diperjuangkan. Tidak hanya ekonomi Muhammadiyah sebagai organisasi, akan tetapi kebutuhan tentang jejaring bisnis yang nyata untuk membangun kemandirian dan kemampuan secara finansial harus terus digalakkan dan dipikirkan langkah-langkah strategis untuk menciptakan warga persyarikatan yang tahan badai krisis. (*)
Ditulis Oleh :
Fahrudin R.
Kader Muda Muhammadiyah
Alumni IMM KoTA
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Istismar Edisi 01/16