ilustrasi : muslimah @ google image |
Dalam surat-suratnya, Kartini mempunyai cita-cita agar perempuan dapat mengisi ruang-ruang publik, pada masanya Kartini merasa dikurung di dalam rumah. "Hukum dan pendidikan hanya milik laki-laki belaka," tutur perempuan yang lahir 21 April 1899 ini.
Saya ingat statement gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan saat pembukaan Tanwir Nasyiatul Aisyiyah di Kota Bandung. Beliau mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu tidak sama, tapi laki-laki dan perempuan itu setara. Saya tertegun dengan pernyataan yang menurut saya brilian tersebut. Ahmad Heryawan membedakan antara kesamaan dan kesetaraan, sebuah pemahaman yang saya kira masih langka.
Laki-laki dan perempuan itu tidak sama, tentu ini adalah sebuah fakta biologis. Alat reproduksi laki-laki berbeda dengan perempuan. Fungsi reproduksi laki-laki pun berbeda dengan perempuan. Laki-laki tidak dapat melahirkan dan menyusui, sebaliknya justru perempuan mempunyai fungsi untuk melahirkan dan menyusui.
Laki-laki dan perempuan itu setara, Allah Swt. berfirman, “Sungguh laki-laki muslim dan perempuan muslim, laki-laki mu’min dan perempuan mu’min, laki-laki yang taat dan perempuan yang taat, laki-laki yang sabar dan perempuan yang sabar, laki-laki yang khusyuk dan perempuan yang khusyuk, laki-laki yang benar dan perempuan yang benar, laki-laki yang berpuasa dan perempuan yang berpuasa, laki-laki yang memelihara harga dirinya dan perempuan yang memelihara harga dirinya, dan laki-laki yang berdzikir dan perempuan yang berdzikir, Allah akan menyiapkan bagi mereka ampunan dan ganjaran yang besar.”(QS. Al-Ahzab-35)
Maksud kata setara adalah laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk memperoleh penghasilan, pendidikan, kesehatan dll. Hal ini sebenarnya sudah kita lihat hari ini, mayoritas perempuan sudah mengenyam pendidikan formal. Banyak perempuan juga sudah menempati sektor-sektor public. Kita mengenal sosok Tri Rismaharini perempuan berhijab yang fenomenal karena dalam kepemimpinannya Surabaya menjadi maju dan lokalisasi Dolly ditutup.
Jika Kartini hidup di zaman ini, mungkin dia tidak akan menulis tulisan-tulisan tersebut, karena toh apa yang dia angan-angankan hari ini sebagian besar telah terwujud.
Dalam Islam dikenal sebuah zaman yaitu zaman jahiliyah. Zaman jahiliyah merupakan simbolisasi zaman kegelapan sebelum Islam risalah Nabi Muhammad datang untuk mencerahkannya. Pada zaman jahiliyah, kedudukan perempuan sangat rendah. Al Quran merekam bahwa banyak orang yang malu mempunyai anak perempuan lalu dikubur hidup-hidup.
Hal ini karena perempuan saat sudah dewasa tidak bisa digunakan untuk mencari uang atau berperang. Jika tidak ada yang mencari uang atau berperang maka keluarga akan miskin, Al Quran menyebut ini khasyyata imlaaq. Al Quran melarang praktik penguburan anak perempuan, hal ini merupakan bentuk advokasi Al Quran terhadap kedudukan perempuan.
Pada zaman jahiliyah perempuan tidak mendapatkan harta warisan, yang ada malah perempuan yang diwariskan. Al Quran merevisi hal tersebut, perempuan tidak boleh diwariskan, namun perempuan mendapatkan warisan setengah bagian warisan laki-laki.
Pada zaman jahiliyah laki-laki diizinkan berpoligami semaunya tanpa batasan jumlah, Al Quran kemudian membatasi maksimal hanya 4 orang istri yang boleh dinikahi.
Dari beberapa fenomena di atas terlihat bahwa Al Quran mempunyai gagasan-gagasan revolusioner terhadap peningkatan harkat dan martabat perempuan.
Dalam kitab-kitab hadits dan sirah nabi kita sering mendengar nama-nama perempuan yang mungkin menjadi inspirasi nama anak-anak kita. Misalnya Khadijah, Aisyah, Fathimah, Ummu Salamah, Nafisah, Ummu Kultsum dll. Hal ini menunjukan bahwa perempuan memang berperan aktif dalam sector-sektor kehidupan pada masa itu.
Berbeda dengan masa kekhalifahan setelahnya dimana perempuan dikurung dalam harem-harem untuk dipingit. Sayangnya pada masa tabiut tabiin dan setelahnya, kita kurang mendengar nama-nama ulama dari kalangan perempuan. Yang kita kenal malah tokoh sufi, Rabiah Al Adawiyah, namun untuk ahli fikih dan ahli kalam agak sulit menemukannya, entah kenapa.
Dalam Al Quran ada surat An Nisaa, artinya perempuan, tidak ada surat Ar Rijaal yang artinya laki-laki. Ada juga surat Al Mumtahanah yang merekam kekritisan seorang perempuan, betapa respeknya Al Quran terhadap perempuan.
Dari uraian di atas dan kondisi hari ini, terlihat kita semua sudah hampir sepakat mengenai pemihakan Islam terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan. Namun ada satu polemik yang masih tetap relevan hingga sekarang, yakni soal kepemimpinan perempuan.
Beberapa waktu yang lalu Immawati Ela Nofita Sari di medsos membuat status-status yang mempertanyakan hal tersebut. Bagaimana jika perempuan menjadi ketua DPP IMM?
Polemik ini melahirkan kubu pro dan kontra , masing-masing mempunyai argumen yang patut disimak.
Bagi yang menolak kepemimpinan perempuan landasan yang dipakai adalah firman Allah swt. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri (maksudnya tidak berlaku serong ataupun curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara “(mereka; maksudnya, Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik). (QS An-Nisaa’:34).
Selain itu, Rasulullah saw. Pernah bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.”(Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).
Dua dalil di atas difahami sebagai tidak bolehnya seorang perempuan menjadi pemimpin dari laki-laki. Ayat Al Quran di atas berlaku untuk kepemimpinan perempuan di berbagai ranah, tidak hanya dalam rumah tangga saja. Lalu hadits di atas harus difahami secara umum, bahwa memang sebuah kaum tidak akan beruntung kalau pemimpinnya perempuan.
Walaupun begitu, para ulama setelahnya berpendapat bahwa bagi seorang perempuan yang mutlak tidak boleh adalah menjadi Imamatul ‘Uzhmaa, yaitu khalifah, dalam konteks Indonesia presiden. Hal ini berarti selain menjadi khalifah perempuan boleh memimpin.
Sementara bagi yang mendukung kepemimpinan perempuan, memandang bahwa Surat An Nisaa’:34 di atas berlaku hanya dalam urusan internal rumah tangga saja. Artinya dalam sektor-sektor publik seorang perempuan dapat menjadi pemimpin asalkan mempunyai kompetensi untuk itu.
Selain itu hadits Rasulullah saw. harus dilihat asbabul wurudnya. Hadits itu muncul dalam konteks kematian Raja Persia yang mempunyai anak perempuan. Rasulullah melihat anak perempuan raja itu tidak kompeten dalam memimpin, maka Rasulullah saw. bersabda seperti itu.
Nyatanya dalam Al Quran menceritakan mengenai kepemimpinan Ratu dari negeri Saba yang bernama Balqis, dan kepemimpinan ratu Balqis tidak dipermasalahkan.
Itulah sedikit uraian tentang emansipasi dalam sudut pandang Islam yang selalu menarik untuk kita kaji. Yang jelas baik laki-laki maupun perempuan Al Quran memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairaat). Itu saja!. (*)
Ditulis oleh :
Robby Rodzliyya
Ketua DPD IMM Jawa Barat
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Istismar edisi 03/16
editor Fahrudin R.