Belajar menjadi pandai mendengar, ilustrasi by GoogleImage |
Sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taati, adalah perilaku yang diharapkan Allah ketika hambaNya menerima perintah-perintahNya.
Mendengar memerlukan kekuatan iman dan kecerdasan. Mendengar perlu dilatih dan diasah. Pada sebagian besar orang mendengar sangatlah sulit karena berhubungan dengan mengelola emosi.
Manusia dikaruniai dua telinga dan satu mulut. Porsi mendengar dua kali dibanding bicara. Kebanyakan orang pintar (dan merasa pintar) lebih suka berbicara dan berdebat daripada mendengar dan menganalisa. ‘Penceramah’ tentu harus banyak berbicara dalam menyampaikan dakwahnya namun dalam kewajiban mencari ilmu sudahkah ‘penceramah’ juga melengkapi dirinya dengan mendengar?.
“Sesungguhnya orang yang membaca Al-Qur’an mendapatkan satu pahala dan orang yang mendengarkannya mendapatkan dua pahala.” (HR. Darimi).
Mendengar bisa menjangkau keuntungan yang lebih besar dari sekedar hitungan besaran angka kuantitatif. Mendengarkan Al-Qur’an misalnya, selain mendapat pahala juga dijanjikan Allah SwT akan mendapat rahmat. Begitu pula mendengar khutbah jumat, khutbah hari raya, mendengar adzan dan iqamah. Semua aktivitas mendengar adalah penting.
Ramai tersebar di sosial media bahwa riset yang menyebutkan bayi didalam kandungan yang diperdengarkan musik-musik klasik akan menjadi cerdas. Ternyata ini berita hoax, palsu. Fakta menunjukkan janin yang diperdengarkan Al-Qur’an padanya, dia tampak terlihat lebih tenang, seakan-akan dia ikut mendengarkan dengan seksama lantunan ayat-ayat suci, berbeda ketika dia mendengarkan suara yang lain. Riset Emoto juga mengabarkan bahwa air yang mendengar pesan-pesan baik maka partikel penyusunnya menjadi indah dan teratur.
Dengan demikian, mendengarkan pendapat orang lain yang baik dan benar pemikirannya lagi kuat imannya, terlebih mendengarkan Al-Qur’an akan memberikan keuntungan besar. Bahkan, jauh dari sekedar mendengar bagi seorang individu, mendengar bagi seorang pemimpin akan memungkinkan dirinya sukses membawa kemajuan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Penghormatan melalui sikap mau mendengar ini merupakan cermin akhlaqul karimah yang dicontohkan para Nabi. Bahkan Nabi Sulaiman AS, seorang raja sekaligus Nabi yang menguasai bangsa manusia dan bangsa jin, mau mendengar suara semut, binatang kecil yang oleh manusia diabaikan suaranya.
Seorang Umarul Faruq RA misalnya, beliau menjadikan Ibnu Abbas RA sebagai orang yang paling penting untuk didengarkan pendapatnya. Pun pula Sultan Muhammad Al-Fatih, mendengarkan nasehat dan bimbingan sang guru, Aaq Samsyuddin adalah suatu perkara yang selalu diutamakan olehnya.
Sebaliknya, orang atau pemimpin yang tidak mau mendengar pendapat dan nasehat orang yang tulus dan kuat imannya, akan terjerembab pada kesombongan dan kemungkaran yang menimbulkan banyak kesengsaraan bagi kehidupan rakyat yang dipimpinnya.
Sikap mendengar yang efektif
Mendengar juga memiliki dampak langsung yang sangat fantastis. Dalam hal ini setidaknya ada dua manfaat langsung dari sikap mendengar yang efektif. Pertama, hubungan baik. Seorang yang pandai mendengar sangat disukai orang. Ia diterima kelompok mana saja, karena sikapnya yang tidak sombong dan rendah hati. Kedua, melalui mendengar seorang bisa belajar. Bagi pembelajar seperti ini, apa pun pembicaraan orang lain adalah ilmu baginya.
Mendengar merupakan ajaran atau tradisi yang diamalkan para Nabi. Nabi Ibrahim AS contohnya, seorang bapak yang pandai mendengar. Sebelum mengeksekusi perintah Allah swt, beliau meminta pendapat anaknya terlebih dahulu. Allah Ta’ala mengabadikan dialog indah tersebut dalam Al-Qur’an (QS. Ash-Shaffaat : 102 ).
Demikian pula dengan Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam. Beliau amat suka mendengarkan istri dan sahabat-sahabatnya. Ketika terjadi perang Khandaq, Rasulullah mendengar dengan baik dan menyetujui pendapat dari Salman Al-Farisi untuk membuat parit.
[baca juga : Cara efektif mendidik anak]
Mendengarkan pendapat istrinya juga menjadi salah satu tradisi Nabi yang dalam beberapa hal langsung memberi dampak positif. Ini terlihat ketika beliau meminta pendapat Ummu Salamah dalam perjanjian Hudaybiyah. Kala itu beliau memerintahkan para sahabat untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan kurban, namun mereka tidak mau melakukannya.
Melihat respon para sahabat tersebut, Nabi melaksanakan saran Ummu Salamah. Nabi keluar dari tenda, bercukur lalu memotong kurban. Hal tersebut mendorong para sahabat Nabi bangkit, mereka serempak bercukur lalu memotong hewan kurban.
Sebelum menjadi orang yang patut didengarkan ternyata langkah yang mesti ditempuh adalah banyak mendengar. Hal itulah yang dilakukan oleh Ibn Umar. Imam Malik dan az-Zuhri berkata, “Sungguh, tak ada satupun dari urusan Rasulullah dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibnu Umar”.
Sebagai praktisi muslim tentu amat penting dalam keseharian menerapkan perilaku mendengar ini dengan sebaik-baiknya. Mendengar keluhan klien, mendengar rintihan suara jantung, mendengar kronologi kasus yang mengalir dari mulut hati klien. Kadangkala klien hanya butuh teman yang mau mendengar, berjam-jam dia bercerita dan tidak lama kondisi sakitnya berangsur sembuh meski belum benar-benar mendapat obat. Karena didengarkan itulah obatnya.
Sakitnya klien adalah ilmu. Sakitnya klien adalah soal ujian yang harus kita selesaikan. Semakin pandai mendengar keluhan klien maka semakin berpengalaman kita terhadap kasus tersebut. Melalui kecerdasan mendengar kita berharap dapat menikmati kebenaran iman dan Islam. (*)
Ditulis oleh :
Wahyudi Widada, M.Ked
Dosen Fikes Unmuh Jember
Anggota MPKU PDM Kab. Jember 2015-2020
Pemilik Rumah Bekam AlKahil
Villa Tegalbesar F 22 Kaliwates
082336452920