Inspiratif perjalanan bisnis dari bapak Kholid Ashari sebagai pengusaha pemilik Senyum Media Jember |
Perjuangan untuk mendapatkan status mahasiswa perguruan tinggi negeri yang biayanya terjangkau telah didapatkan dengan waktu tunggu satu tahun. Tidak ada kata terlambat untuk sesuatu yang harus didapat. Sujud syukur saya lakukan di depan Kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dimana saya beli koran Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Agustus 1986 yang memuat hasil test Sipenmaru diterima di Manajemen Universitas Jember pilihan ke-3.
Sebelum meninggalkan kota Yogyakarta untuk pulang ke Pemalang saya sempatkan menemui Pembantu Rektor 2 IAIN Sunan Kalijaga untuk barangkali uang kuliah yang sudah saya bayarkan bisa kembali walaupun nilainya tidak besar. Bukannya mendapatkan hasil, namun dapat ceramah panjang dari pejabat tersebut bahwa untuk masuk ke Fakultas Syariah itu sangat sulit kenapa harus ditinggalkan, kenapa harus gambling dan kenapa harus minta uang kembali. Pilihan hati butuh pengorbanan dan harus ada keikhlasan, kata beliau. Saya manut sekaligus pamit mundur jadi mahasiswa IAIN yang sudah dilaksanakan dua hari berupa Penataran P4 ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ). Namanya saja usaha dalam hati saya berkata.
Orangtua saya senang sekaligus gelo, sayang uang dihamburkan dan keluar dari IAIN Yogyakarta, namun tidak bisa mencegah keinginan kuat saya merajut cita-cita kuliah di Perguruan Tinggi Umum. Saya diingatkan bahwa uang masuk perguruan tinggi ini berasal dari hutang Koperasi Departemen Agama dan adik-adikmu 5 ( lima ) orang juga butuh biaya sekolah. Silahkan kuliah sesuai cita-cita namun cukup satu semester saja dibiayai, kuliahlah sambil bekerja apa saja.
Tantangan itu memang agak berat, namun semangat kuliah mengalahkan segalanya. Perjuangan Mbah Zaenal bapak saya jauh lebih berat, mondok di Payaman Magelang dengan bekal pas-pasan dari kakak ipar beliau Mbah Yasin ( alm ). Mbah Zaenal di Pondok Payaman untuk makan sehari-hari menjadi buruh ngliwet ( tanak nasi ) dengan upah intip nasi, intip nasi dicampur garam itulah makanan sehari-hari beliau. Tamat dari pondok beliau mengajar mengaji di desa Kandang sambil jadi tukang jahit yang merupakan keahlian didapat waktu mondok, sempat dikawinkan akan tetapi kemudian cerai. Akhirnya Mbah Zaenal menikah dengan ibu saya, lahir kakak-kakak dan kami yang jadi keluarga besar, besar jumlah anaknya. Dan entah bagaimana ceritanya seorang guru ngaji didaftarkan jadi guru agama Departemen Agama. Kata beliau pemerintah saat itu butuh banyak tenaga pengajar, namun lulusan PGA ( Pendidikan Guru Agama ) sangat langka. Jadilah guru Depag sekaligus upgrading kursus PGA, cerita beliau. Cukup terinspirasi kisah beliau untuk saya ikuti jejaknya.
Dengan bekal secukupnya saya pergi ke Jember untuk kuliah sambil bekerja, itulah semangat tinggi saya. Jember ternyata jauh sekali, dengan naik bus Pemalang - Semarang - Solo – Surabaya – Jember butuh waktu saat itu 20 jam perjalanan. Beruntunglah saya punya pengalaman keliling jalan kaki lontang-lantung mengukur jalanan di Jakarta, Bandung dan Yogya waktu nganggur dulu sangat membantu. Wong embongan kalau meminjam istilah orang Jawa Timur.
Segera setelah daftar ulang saya mencari kos yang termurah dan dekat dengan pusat kota Jember, mendapatkan kos yang murah dengan tolilet terbesar di dunia. Kos di rumah pinggir sungai dibawah Jembatan Semanggi, mandi dan buang hajat di sungai Bedadung, itulah toilet terpanjang di dunia he he he...
Kalau teman-teman kuliah berpenampilan gagah dengan sepeda motor atau mobil, saya kuliah jalan kaki sekitar 1 km menuju kampus dan sering memakai celana abu-abu atau celana coklat Pramuka pakaian bekas waktu SMA sebelumnya.
Teman-teman kuliah setiap sore bahas materi kuliah, saya setiap sore sampai malam menyusuri Kota Jember jalan kaki mencari peluang pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan sembari kuliah. Mau jadi tukang becak, modal tidak ada. Mau jadi pelayan toko, hampir semua toko sepanjang Jalan Sultan Agung dan Samanhudi menolak. Mereka menolak karena saya mau bekerja diluar jam kuliah, ada yang mau menerima asal kuliah saya harus berhenti. Saya membatin, kurang ajar nih orang, saya bisa masuk kuliah perjuangannya cukup berat kok disuruh berhenti. Kalau hanya kerja cari duit, saya sudah berpengalaman 4 ( empat ) bulan jadi buruh pabrik tekstil, itu juga saya tinggalkan demi pendidikan tinggi yang dicita-citakan.
Bulan ketiga saya kuliah, jadilah saya Salesman buku-buku mahal PT. Widya Dara agen dari Grolier International di Indonesia yang terkenal dengan buku-buku Enciclopedia. Kantor-kantor, Kampus-kampus dan rumah-rumah mewah yang menjadi target produk yang saya jual, selam 4 bulan hasilnya nihil. Tidak dapat order. Mahal kata sebagian besar calon konsumen saya.
Namun saya penasaran kenapa salesman-salesman senior dengan mudahnya close-order, mereka datang dari Surabaya dan di Jember 3 hari saja hasilnya banyak yang tutup order. Kalau saya hitung komisinya bisa untuk hidup saya di Jember satu tahun, saya penasaran resep keberhasilan mereka para senior. Kalau mereka bisa dan berhasil, kapan saya menyusul pikirku saat itu.
Saya lupakan pikiran itu karena mendekati ujian semester pertama, sebelum ujian semester saya pindah kos-kosan yang agak dekat kampus dan tetap mencari yang murah. Toh sebagai sales saya tetap jalan keliling kota sekitar 10 kilometer per hari. Tempat istirahat favorit saya kalau keliling mencari konsumen yakni Masjid Jamik Alun-alun Jember, untuk sholat Maghrib dan Isya sambil minum air kran masjid saat sebelum berwudlu, saya menganggap air wudlu masjid air suci jadi serasa air mineral untuk orang yang tidak bisa beli air mineral botolan. Itu alasan pembenaran untuk menghibur diri.
Untuk tempat kos kedua di Jalan Sumatra saya beruntung karena ibu kos saya Mbah Nema namanya punya profesi penjual kopi pinggir jalan. Mbah Nema punya ritual setiap sore hari sebelum jualan selalu menyediakan nasi semacam sesajen buat suaminya yang sudah meninggal, si Mbah berpesan kalau maghrib biasanya mantan suaminya makan, untuk itu setelah maghrib anak-anak kos yang berjumlah 4 ( sempat ) orang boleh memakan sisa mbah Kakung. Mbah Nema ini dulu berkeluarga namun tidak punya anak, sikap sayang terhadap suami yang telah meninggal lebih dulu diwujudkan dengan menyediakan nasi kesayangan suaminya jelang maghrib. Pelanggan nasi sisa Mbak Kakung adalah saya karena dari 4 anak kos tersebut saya selalu diprioritaskan memakan lebih dulu, anak-anak kos ini juga sama-sama dari golongan kurang mampu yang kalau kuliah masih sama-sama pakai celana abu-abu jaman SMA.
Bisa jadi teman-teman tidak tega karena ritual saya juga tidak kalah heboh, setiap pagi selalu tanak nasi satu gelas beras dengan air yang banyak dan tambahan garam. Pagi siang makan nasi agak lembek dengan rasa bubur asin, dan kadang saya campur parutan kelapa agar tidak perlu beli tempe tahu lagi.
Dengan makanan apa adanya sambil memikirkan cara mendapatkan uang untuk kehidupan sehari-hari, maka untuk belajar menangkap mata kuliah tentunya kurang maksimal.
Hasil semester pertama kuliah dari 18 SKS standar yang saya tempuh, IPK yang dihasilkan kurang dari 2, sehingga mata kuliah yang diambil di semester 2 berikutnya maksimal 15 SKS. Ternyata saya tidak sendirian nilainya yang jelek, masih banyak kawan yang nilainya dibawah saya, saya memperkirakan 70 anak dalam satu kelas ada sekitar 15 kawan yang nilainya sama-sama jelek.
Saat liburan semester pertama saya sempatkan pulang ke Pemalang karena lima bulan di Jember sudah kangen sama orangtua di kampung sambil mau berkeluh kesah dan memohon restu untuk didoakan karena belum bisa mandiri. Komunikasi jaman dulu pakai surat menyurat yang sampai tujuan bisa jadi satu minggu walaupun memakai Pos Kilat Khusus, komunikasi pakai pesawat telpon hanya dimiliki rumah-rumah perkotaan dan tentunga masyarakat mampu.
Perjalanan Jember ke Pemalang sangat melelahkan dari jam 16.00 sore sampai Desa Pesantren tempat asal saya jam satu siang habis Dhuhur esok harinya atau 21 jam perjalanan. Saya mendapati bapak-ibu saya yang lagi tanam tomat beserta adik-adikku di kebun kecil depan rumah. Kebun inilah dimana ibu saya masak hasil kebun untuk lauk, menu nasi dengan terong dipecek sambal atau jangan asem dengan sedikit tempe dirajang. Itulah makanan kami sehari-hari tanpa mengenal ayam apalagi daging. Kami kenal daging setahun sekali waktu Idul Adha, ikut-ikutan jadi panitia di masjid biar dapat bonus bakar sate untuk icip-icip he he he...
Saya salami orangtua saya sambil menunduk tanpa berani menatap wajah bapak saya karena satu semester ini saya belum bisa mandiri sesuai target. Saya tahu Mbah Zaenal bapakku marah, dan adik-adikku yang lagi pegang ember yang ikut menyirami tanaman tomat juga pada diam. Beruntung bapakku bijak setelah mendengar keluh kesah selama di Jember belum mendapatkan pekerjaan atau penghasilan sambil kuliah.
Saya diberi kelonggaran satu semester lagi untuk kuliah dibiayai, dan harus kembali ke Jember hari itu juga tanpa boleh menginap. Liburan kuliah harusnya dijadikan waktu untuk bekerja cari uang, bukan untuk senang-senang liburan. Perintah tegas tanpa kompromi.
Saya kembali lagi ke Jember menjadi salesman lagi, namun sekarang menjadi salesman PT. Kawaguchi yang merupakan suatu perusahaan yang menyediakan kredit barang-barang elektronik dan perabot rumahtangga. Lagi-lagi 3 bulan saya lalui tidak bisa close-order walaupun cuma jual TV atau Kulkas, sangat sulit untuk dapat komisi.
Beruntung saat mengelilingi kota Jember jalan kaki banyak bertemu dengan orang-orang yang inspiratif, bisa mendorong dan mengajak saya mencari jalan lain. Kata mereka jadi salesman itu hasilnya memang banyak dan sekali order bisa untuk nutup kuliah, namun sangat sulit bagi yang belum matang kapasitasnya. Cobalah pekerjaan yang kelihatan sepele namun kadang justru bisa mendapatkan sesuatu yang besar.
Ada Bu Elok guru SMA 2 Jember yang saat itu istri H. Samsul Arifin pemilik TB. Anda Jl. Trunojoyo menyarankan jadi penjual koran/majalah di Kampus-kampus.
Ada Mas Arif anak cerdas dari Surabaya yang masuk Fisip Unej tahun 1984 dengan PMDK yang mau ngajari jual majalah bekas yang akan diambilkan dari kios bapak ibunya di Surabaya bila saya punya kios.
Ada Mas Fahrurrazi yang punya kios/gerobak nganggur sebanyak 5 buah yang mau dijual murah.
Pada saat genting didera keputusasaan, datang bapak dan kakak ipar saya Mas Nasokhi jauh-jauh dari Pemalang datang ke Jember tanpa ngabari terlebih dahulu. Beliau prihatin dengan kondisi saya yang hampir satu tahun belum bisa mandiri. Orangtua saya datang sengaja ninggali uang Rp. 200.000,- untuk SPP saya semester 3 yang senilai Rp. 54.000,-, sisanya untuk dibuat saya usaha dan makan. Ini uang terakhir yang diberikan ke saya dan dianggap sebagai warisan, berikutnya tidak boleh meminta orangtua lagi. Begitu pesan bapakku. Bapak saya tidak sanggup lagi membiayai, apalagi saya punya adik lima orang yang sudah mulai butuh biaya sekolah yang banyak.
Bagai disambar petir bahwa uang yang diberikan ke saya adalah uang hasil jual sepeda motor baru yang diambil dari kredit Koperasi Depag. Bapak saya belum pernah punya sepeda motor dan pernah mau beli motor bekas namun duitnya tidak cukup. Sekarang punya sepeda motor baru, belum sampai rumah, belum menikmati enaknya punya sepeda, namun sudah berubah jadi uang dengan dijual mungkin murah harganya. Uang hasil jualan dibuat bayar hutang-hutang, dan buat uang terakhir saya yang dianggap uang warisan. Airmata saya meleleh melihat beban, kesungguhan dan pengorbanan bapak dalam membiayai anak yang punya kesungguhan mau kuliah secara mandiri. Ini kesempatan terakhir saya setelah sekian kali berjuang belum mendapatkan hasil yang nyata.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan saya gabungkan 4 kekuatan atau peluang. Uang dari bapak saya bayarkan Rp. 10.000,- untuk bayar cicilan kios ke Mas Fathurrazi yang dihargai Rp. 100.000,-; ambil koran dan majalah di TB. Anda milik Bu Elok dan jualan majalah bekas titipan Mas Arif.
Saya tidak peduli masalah kuliah nyantol apa tidak, yang penting waktu kuliah datang dan ikut ujian akhir semester sekenanya. Pikiran sudah kalut. Prestasi kuliah saya pada semester 2 merupakan titik terendah, menempuh 15 SKS atau 5 mata kuliah dengan IPK yang dihasilkan dibawah 1,5 dengan nilai dominasi C dan D alias boleh kuliah dengan 12 SKS pada semester berikutnya.
Tepat hari Senin awal Juli 1987 pada liburan semester 2 saya jualan koran di depan Kampus Unmuh Lama ( sekarang menjadi SMA Muhammadiyah 3 Jember ) saya jualan koran/majalah baru dan majalah bekas. Hasil dari jualan koran/majalah di hari pertama mendapatkan keuntungan Rp. 2.000,- dan terus bertambah tinggi hari-hari berikutnya. Saya butuh uang Rp. 500,- sehari untuk hidup di Jember, nasi pecel atau nasi rawon harga di warung sederhana maksimal Rp. 150,- satu porsi sekali makan. Kini bekerja satu hari bisa untuk hidup empat hari bahkan lebih.
Dengan demikian pada hari ke tujuh atau seminggu kemudian, saya berani nulis di buku harian bahwa saya sudah lulus sarjana karena persoalan biaya hidup sudah bisa teratasi.
Untuk tembus kuliah butuh waktu tunggu satu tahun, sedang untuk tembus kerja dapat duit juga butuh waktu tunggu satu tahun. Bisa disimpulkan butuh waktu dua tahun untuk bisa kuliah sambil kerja atau kerja sambil kuliah.
Original post: facebook kholid ashari