DUA Contoh Keikhlasan Ber-Muhammadiyah
Adegan Kyai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah dalam film Nyai Ahmad Dahlan |
Artikel ini ditulis oleh KH. AR Fakhruddin dan dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 21 Tahun ke-60, November 1980).
---
Dalam pertemuan antara PP Muhammadiyah dengan Majlis dan Ortom Muhammadiyah tingkat pusat yang berada di Yogyakarta malam Ahad tanggal 4 Oktober 1980 di Gedung Muhammadiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan 99 Yogyakarta, dalam menyatukan pengertian dan bahasa tentang instruksi PP Muhammadiyah mengenai Pedoman Kehidupan Beragama Dalam Muhammadiyah Tahap 1 yang dimulai secara efektif pada tanggal 1 Dzulhijjah 1400 H, Ketua PP Muhammadiyah memberikan 2 contoh teladan alm. KH. Ahmad Dahlan dalam keikhlasan beramal dan berjuang dalam Muhammadiyah.
Contoh teladan itu didapat oleh Pak AR dari alm. KH. Syuja' sebagai seorang murid dan kader langsung dari alm. KH. Ahmad Dahlan sejak permulaan membina dan menggerakkan Muhammadiyah.
Bagi alm. KH. Ahmad Dahlan, membangun, membina dan menghidup-suburkan organisasi dan amal usaha Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, berarti membangun, membina dan menghidup-suburkan agama Islam. Karena itu merupakan kewajiban hidup bagi alm. KH. Ahmad Dahlan untuk senantiasa memperhatikan keharusan dan syarat hidup bagi Muhammadiyah.
Dua contoh teladan yang dimaksud ialah sebagai berikut:
1. Fikirkan Muhammadiyah di waktu sakit keras
Di waktu KH. Ahmad Dahlan sudah sakit keras, yang kelak membawa kepada ajal beliau, dokter yang merawat beliau melarang beliau dikunjungi dan menerima tamu. Apalagi untuk membicarakan banyak dan memikirkan masalah yang berat. Menurut dokter beliau harus istirahat secara total (penuh), kalau beliau ingin sembuh kembali.
Tetapi larangan dokter dilanggar oleh KH. Ahmad Dahlan, karena rupanya beliau mendapat firasat, bahwa umur beliau memang tidak akan panjang lagi. Bahwa sakit beliau itu akan menjadi lantaran untuk dipanggil ke hadirat Allah SwT. Dan untuk itu beliau sudah ikhlas.
Tetapi beliau sebagai pendiri Muhammadiyah merasakan ada beban yang harus dipenuhinya terhadap Muhammadiyah, yang tak dapat ditunda-tunda, sebelum ajal beliau tiba.
Karena itu justru KH. Ahmad Dahlan menyuruh panggil beberapa pemimpin Muhammadiyah untuk datang dan untuk berbicara.
Datanglah KH. Ibrahim, KH. Mukhtar, KH. Hisyam dan KH. Syuja'.
Kepada tiap-tiap pemimpin Muhammadiyah itu, KH. Ahmad Dahlan menanyakan bagaimana keadaan organisasi dan Muhammadiyah, terutama bagaimana keadaan dan perkembangan amal usaha Muhammadiyah? Bagaimana keadaan madrasah/sekolah Muhammadiyah? Bagaimana keadaan panti asuhan, bagaimana keadaan klinik kesehatan, bagaimana keadaan tabligh dan pengajian, bagaimana keadaan pustaka dan penerbitan Muhammadiyah?
Masing-masing memberikan keterangan seperlunya. Memang karena pembicaraan itu, kesehatan beliau menjadi lebih memburuk, tapi beliau sendiri nampak merasa puas.
Maka kalau tadinya hanya dokter yang melarang beliau untuk tidak terima tamu --apalagi berbicara banyak dan memikirkan masalah yang berat-- maka kini tampil Nyai Dahlan sendiri. Nyai Dahlan dengan perasaan keikhlasan dan kecintaan sebagai seorang istri, dengan sungguh-sungguh dan dengan air matanya, meminta KH. Ahmad Dahlan supaya memperhatikan larangan dokter. Agar benar-benar dapat beristirahat. Jangan fikirkan dulu soal Muhammadiyah dan masalah lain.
Permintaan Nyai Dahlan itu, menimbulkan perasaan tersinggung KH. Ahmad Dahlan. Beliau minta dibangunkan dari pembaringannya. Dan dengan bersandar pada bantal, sambil mengangkat dan mengacungkan tangan dan jari beliau yang sudah lemah, dengan wajah yang nampak kemerahan, beliau berkata:"Nyai, kalau tadinya dokter yang melarang saya memikirkan dan membicarakan masalah Muhammadyah, maka kini justru Nyai sendiri. Maka kalau tadinya dokter yang saya anggap sebagai setan, kini justru Nyai sendiri yang menjadi setan. Apa saya yang sudah sakit menemui mati ini tak boleh fikirkan lagi soal Muhammadiyah, soal Islam? Kalau tidak sekarang saya memikirkan dan membicarakannya, kapan lagi saya akan sempat?"
Mendengar ucapan KH. Ahmad Dahlan yang bernada menempelak dan menyalahkan itu, Nyai Dahlan menangis, merasa menyesal serta meminta maaf. Bukan maksud Nyai Dahlan untuk menjadi seorang yang dianggap menghalangi suaminya memikirkan Islam.
2. Mengusahakan Dana untuk Muhammadiyah
Sesudah Muhammadiyah berdiri, yang merupakan gabungan dari beberapa pengajian seperti Thaharatul Qulub, Pengajian Tanpa Nama dan lain-lain, dan untuk menggerakkan Muhammadiyah sedang krisis, bahkan kas Muhammadiyah kosong, maka KH. Ahmad Dahlan memanggil KH. Syudja' untuk mencari dan mengundang beberapa orang keluarga Muhammadiyah di Kampung Kauman, yang menurut istilah Kyai orang-orang yang bakhil.
Yang beliau maksud dengan orang yang bakhil itu ialah orang-orang yang terbilang kaya, seperti pengusaha dan pedagang batik dan perak. Mereka yang demikian itu tentunya dapat memberikan harta dan uangnya untuk dakwah, untuk Muhammadiyah dengan segala amal usahanya. Karena orang yang miskin dan tidak mampu, tidak mungkin akan bisa memberikan harta dan uangnya dalam jumlah yang memadai.
Maka terkumpullah lebih kurang 12 orang yang diistilahkan bakhil itu. Mereka itu diundang dtang ke rumah Kyai. Diundang sekedar untuk makan bersama pada malam Rabu. Selesai makan, mereka dipersilahkan untuk pulang.
Sesudah berjalan dua kali makan bersama itu dengan cara demikian, maka pada malam kali ketiga, diantaranya yang datang itu ada yang bertanya: "Apa maksud Kyai mengundang kami makan ini. Dan setelah makan kami disilahkan pulang". Kyai menjawab, "Tidak ada maksud apa-apa. Saya hanya senang dapat berkumpul dan makan bersama dengan tuan-tuan".
Maka berkata pula seorang diantara mereka, "Bagaimana kalau selain makan bersama, kami diberi pula fatwa atau nasihat oleh Kyai. Terutama mengenai hal-hal agama".
"Apa tuan-tuan memerlukan demikian?" tanya Kyai. Semua mengiyakan. "Kalau demikian baik akan saya tambah dengan pengajian agama Islam," kata Kyai.
Demikianlah kemudian makan malam Rabu itu disertai dengan pengajian yang mendapat perhatian penuh dari para aghniya' Kauman yang diistilahkan orang bakhil itu. Dan isi pengajian itu makin menarik dan meresap di hati mereka.
Maka setelah dianggap oleh Kyai para aghniya' itu telah cukup tergembleng dengan pengajian, yang terutama diarahkan kepada keimanan, berbuat amal shalih, dan jariyah serta pengorbanan dan keikhlasan, maka pada suatu malam Rabu, Kyai berkata: "Setelah kita beberapa kali makan bersama dan mengaji bersama, maka pada malam ini, ada masalah penting yang ingin saya sampaikan kepada tuan-tuan sekalian. Dan saya meminta perhatian dan bantuan dari tuan-tuan".
Yang hadir manggut-manggut dan menyatakan bersedia memberikan bantuan yang diperlukan.
Lalu Kyai membuka kunci rahasia yang menyebabkan beliau mengundang makan bersama itu dan disertai kemudian dengan pengajian. Kata Kyai: "Saya bermaksud melelang perabot rumah tangga saya. Harga lelangnya akan saya gunakan untuk membiayai keperluan amal-usaha Muhammadiyah. Waktu ini kas Muhammadiyah kosong. Sedang usaha pemcarian dana untuk keperluan itu tidak menghasilkan jumlah yang diperlukan. Satu-satunya jalan ialah melelang perabot rumah tangga saya, berupa meja, kursi, lemari dan lain-lain".
Semua menjadi terdiam. Tetapi semuanya merasakan timbul kewajiban bagi mereka untuk membantu Kyai mencari keuangan amal-usaha Muhammadiyah.
Mereka kemudian berembuk satu sama lain. Dan seorang juru bicara berkata bahwa mereka akan membantu Kyai dengan melelang perabot rumah Kyai itu kalau memang itu satu-satunya jalan dan usaha menurut Kyai yang terbaik untuk mencari uang membiayai keperluan amal-usaha Muhammadiyah.
Maka dilakukan pada suatu hari pelelangan itu. Dan semua orang yang bakhil itu melelang. Harga barang yang dilelang, dilebihkan daripada harga semestinya. Kalau sebuah kursi berharga Rp. 1 maka harga lelangan dilebihkan menjadi Rp. 1,10 dan seterusnya. Selesailah lelangan itu, semua perabot yang dilelang oleh Kyai sudah ada yang melelangnya.
Harga lelangan dikumpulkan. Dan kemudian harga itu mereka serahkan kepada Kyai. Kyai merasa senang karena lelangnya berjalan lancar dan mendapat hasil yang memuaskan.
Seorang yang menjadi juru bicara berkata: "Uang harga lelangan kami serahkan kepada Kyai. Tetapi barang-barang yang kami lelang tidak kami bawa. Barang-barang itu kami tinggal di rumah Kyai. Kami serahkan kembali kepada Kyai, tetap menjadi hak miliki Kyai."
"Mengapa demikian?" tanya Kyai dengan rasa heran dan terharu. "Bukankah barang-barang itu sudah bukan milikku lagi? Milikku ialah uang harga lelangan."
"Tidak apa, barang-barang itu kami sumbangkan kepada Kyai. Dan kami Insya Allah akan tetap bersedia membantu dalam mencari dana untuk kepentingan amal-usaha Muhammadiyah".
Harus Ditiru
Demikian, kata Pak AR,2 contoh teladan nyata dari Kyai Ahmad Dahlan dalam hal keikhlasannya untuk memikirkan dan membina organisasi Muhammadiyah terutama amal-usaha Muhammadiyah.
Dua contoh teladan itu harus ditiru dan dilanjutkan oleh pemimpin dan warga Muhammadiyah dewasa ini, bila ingin Muhammadiyah tetap pada maksud tujuannya menjunjung tinggi Agama Islam dan mencapai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Jangan sampai bahkan berebut kedudukan. Menjadi kagol bila tidak terpilih menjadi pengurus. Bila usul tidak diterima. Jangan sampai bahkan ada yang bila uang banyak, terjadi rebutan bahkan rayahan untuk masing-masing mendapat bagian. ● red/mghfr